Senin, 09 Maret 2009

Nodul Tiroid

Nodul tiroid merupakan pembesaran dari kelenjar tiroid. Nodul tiroid dapat menimbulkan keluhan pasien seperti perasaan tidak nyaman karena tekanan mekanik nodul terhadap organ sekitarnya serta masalah kosmetik. Namun yang menjadi perhatian adalah kemungkinan nodul tersebut ganas. Pada beberapa kasus (jarang terjadi) nodul tiroid yang jinak (adenoma) dapat bertransfomasi menjadi ganas (tumor ganas).

Kejadian nodul tiroid meningkat sesuai dengan umur, keterpajanan terhadap radiasi pengion, defisiensi iodium, dan jenis kelamin wanita (kehamilan meningkatkan pembesaran nodul). Untuk menilai kemungkinan ganas atau jinaknya nodul perlu dilakukan penilaian melalui pemeriksaan diagnostik (pemeriksaan fisik terutama leher dan penunjang). Secara klinis, nodul dibagi menjadi nodul tunggal (soliter) dan nodul multipel. Lebih dari 95% nodul soliter bersifat jinak. Selain itu gambaran klinis yang juga dapat memberikan pertunjuk nodul jinak antara lain: riwayat penyakit keluarga (nodul jinak), besarnya tetap, biopsi jarum halus (jinak), kista simplek (hasil USG), dan mengecil dengan terapi levotiroksin.
Alur diagnosis nodul tiroid dilakukan dengan beberapa tahap. Pertama, penggalian riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan penunjang (kadar TSH). Bila kadar TSH normal atau tinggi dilakukan evaluasi klinik oleh dokter yang kompeten (terutama spesialis onkologi). Untuk mendapat diagnosis pasti maka perlu dilakukan biopsi jarum halus dengan tuntunan USG. Bila risiko keganasan rendah atau biopsi jarum halus hasilnya negatif maka nodul tiroid dapat diamati saja perkembangannya, atau diberikan terapi supresi hormonal (dengan I-tiroksin). Atas pertimbangan kosmetik, tindakan bedah dapat dilakukan pada suatu nodul jinak.
Nodul tiroid jinak (dibuktikan secara sitologis/pemeriksaan sel dengan mikroskop) yang diamati secara fisik dan USG selama 9 dan 11 tahun tanpa diberi pengobatan apapun: 43% nodul akan mengalami regresi (menyusut) spontan, 23% bertambah besar dan 33% menetap. Bila pasien sebelumnya diobati dengan I-tiroksin, tentu tiroksinlah yang dianggap berperan dalam mengecilkan nodul.
Terapi supresi dengan hormon tiroid (levotiroksin) merupakan pilihan yang paling sering dan mudah dilakukan. Terapi supresi dapat menghambat pertumbuhan nodul. Hanya 20 % nodul yang responsif terhadap terapi ini. Terapi supresi dilakukan dengan memberikan I-tiroksin dalam dosis supresi dengan sasaran kadar TSH sekitar 0,1 – 0,3 mIU/mL. Bisanya diberikan selama 3 -12 bulan, dan bila dalam waktu tersebut nodul tidak mengecil atau bertambah besar perlu dilakukan biopsi ulang atau disarankan operasi. Bila setelah satu tahun nodul mengecil, terapi supresi dapat dilanjutkan. Pada pasien tertentu terapi supresi hormonal dapat diberikan seumur hidup. Yang perlu diwaspadai adalah efek samping berupa osteopeni (penipisan kepadatan tulang) atau gangguan jantung. Terapi supresi hormonal tidak akan menimbulkan osteopeni pada pria atau wanita yang masih dalam usia produktif, namun dapat memicu terjadinya osteoporosis (keropos tulang) pada wanita pasca-menopause walaupun ternyata tidak selalu disertai dengan peningkatan kejadian fraktur (patah tulang).

Daftar Pustaka
W.Sudoyo,Aru. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam-Jild III edisi IV. Pusat penerbitan Ilmu eyakit Dalam FKUI: Jakarta, 2006.