Learn helplessness pertama kali ditemukan secara tidak sengaja dengan percobaan pada anjing. Saat itu sang penemu (Seligman) hanya bermaksud mempelajari ulang teori classical conditioning dan operant conditioning. Teori ini menyatakan bahwa adanya pengalaman yang menyakitkan dan tidak bisa tertangani dengan berbagai upaya akan membuat anjing belajar tidak berdaya. Dengan paparan stimulus yang sama, anjing akan menjadi pasif (tidak berdaya).
Percobaan dibagi dalam 2 tahap dan dilakukan pada 3 grup anjing yang sama.
Percobaan tahap I
Grup A: dikurung dalam kandang selama periode tertentu, lalu dilepaskan.
Grup B: dikurung dalam kandang, diberi kejut listrik-->baru dilepaskan setelah berhasil menghentikan kejut listrik dengan menekan pengungkit.
Grup C: perlakuan mirip seperti grup B, tapi tidak ada pengungkit. Apapun yang dilakukan tidak bisa menghentikan kejut listrik. Baru dilepas jika Grup B berhasil menekan pengungkit.
Percobaan tahap II (dilakukan 24 setelah periode I)
Grup A, Grup B, Grup C: dikurung dalam kandang, diberi kejut listrik-->baru dilepaskan setelah berhasil menghentikan kejut listrik dengan melompat ke kandang sebelah melalui celah antara dinding pemisah.
Hasil percobaan tahap II: Grup A dan Grup B aktif mencari cara menghentikan kejut listrik, dan berhasil melakukannya, sedangkan Grup C hanya berdiam diri dan merintih.
Secara biokimia: kadar norepinefrin (cairan kimia) dalam otak Anjing Grup C selama percobaan menjadi berkurang. Keadaan ini membuat anjing menjadi tidak berdaya.
Seligman menyatakan bahwa anjing di Grup C telah belajar tidak berdaya (learn helplessness). Grup C belajar melalui pengalaman sebelumnya (percobaan tahap I) bahwa apapun yang dia lakukan, tidak akan bisa menghentikan kejut listrik. Dia hanya pasif menunggu berakhirnya kejut listrik. Teori ini tidak berlaku umum karena dari total anjing Grup C, 1/3 nya menunjukkan usaha (tidak berdiam diri) untuk menghentikan kejut listik.
Kelemahan teori Seligman: jeda antar tahap percobaan tidak dilakukan >48 jam dan tidak dilakukan pengulangan. Belakangan ditunjukkan bahwa setelah 48 jam, kadar norepinefrin kembali normal. Selain itu, anjing yang diberi paparan kronis kejut listrik belakangan tidak menjukkan penurunan kadar norepinefrin dalam otak.
Seligman percaya bahwa teorinya ini bisa menjelaskan fenomena depresi pada manusia. Mereka yang punya pengalaman serba-salah (tidak berdaya) dalam mengatasi permasalahan, akan cenderung belajar tidak berdaya (depresi). Belakangan, percobaan berbeda yang memiliki konsep serupa juga dilakukan pada bayi dan orang dewasa. Hasilnya pun mirip seperti diatas.
Walaupun belakangan dapat ditunjukkan bahwa teori Seligman punya kelemahan, namun keadaan ketidak berdayaan yang berefek jangka panjang bisa terjadi pada manusia. Hal itu bsa terjadi jika sudah terbentuk persepsi dan prediksi ketidakberdayaan dalam pikiran yang didasarkan pada pengalaman ketidakberdayaan.
Selain itu, untuk menjelaskan fenomena teori learn helplessness yang kemunculannya pada manusia bervariasi (bsa spesifik untuk kondisi tertentu atau bsa jadi umum untuk berbagai kondisi), ilmuwan lain (Weiner) mengeluarkan attribution theory. Attribution theory menyatakan kemunculan keadaan tidak berdaya tergantung pada tipe masing-masing orang.
*Tipe optimis: memandang ada kunci untuk penyelesaian masalah (walaupun awalnya kunci pemecahan masalah belum bisa ditemukan) dan tidak menggeneralisir permasalahan--> lebih bsa mencegah belajar tidak berdaya;
*Tipe pesimistik: memandang tidak ada kunci untuk penyelesaian masalah dan menggeneralisir permasalahan--> lebih rentan belajar tidak berdaya.
Nah, setelah mengetahui teori2 di atas, kita bsa mengambil pelajaran bahwa ada baiknya kita percaya bahwa setelah kesulitan ada kemudahan (atau dibalik masalah ada kunci penyelesaiannya). Setidaknya hal ini berguna untuk mencegah kita dari ketidakberdayaan ataupun depresi. Amin.